“Halo Emi, akhirnya kau sekolah. Aku menghawatirkanmu tahu! Setidaknya jawab pesanku!” Kata Nana dengan nada tinggi.
“Uwouhhh!!!? Eh… hai. Eh kau dapat mengirim pesan ya? Maaf, aku tidak tahu” Kata Emi terkejut.
“Astaga kau ini!” Nana hanya bisa cemberut karena kelakuan temannya itu.
“Baiklah, maafkan aku. Aku akan traktir sesuatu nanti” Kata Emi
“Hah… baiklah” kata Nana sambil menghela nafas
Tetapi Nana bersyukur juga bahwa Emi masih baik-baik saja.
Saat istirahat, seperti yang Emi bilang tadi pagi. Ia mentraktir Nana. Setelah membeli makanan, mereka pun duduk.
“Hei Emi, aku mendengar soal kasus ayahmu itu kan? Apa yang akan ayahmu lakukan?” Tanya Nana.
“Yah… dia sedang dalam proses sidang. Aku tidak menyangka dia akan seperti itu… Itu salahnya dia, jadi aku tidak terlalu peduli…” Kata Emi
“Ohh, baiklah” Nana menjawab balik. Ia tahu pasti Emi sangat terkejut dan marah dengan ayahnya, makanya ia berkata seperti itu.
“Dan aku ingin mencari korbannya itu… Jadi aku izin besok. Bilang saja ada acara. Dan ini… mungkin akan menjadi pertemuan terakhir kita… atau mungkin tidak” Kata Emi dengan muka yang tersenyum kecil. Nana pun menjadi bingung.
“Eh… ap..”
“Sudahlah, lupakan. Ngomong-ngomong apa kau sudah menentukan ke mana kamu akan lanjut?”. Kata Emi menyela pertanyaan Nana. Emi sudah menduga Nana pasti akan bertanya begitu.
“Hmm kalau aku, mau lanjut saja dari SD ini” Jawab Nana.
“Ohhh… aku juga berpikir begitu” Kata Emi. “Ayo kita masuk kelas, bel nya sudah berbunyi.” Tambah Emi
“Baiklah” Jawab Nana.
Bel pulang telah berbunyi dan seperti biasa murid-murid di sekolah itu pulang.
“Hei, mau bermain ke suatu tempat? Atau mau makan sesuatu?” Tanya Emi pada Nana.
“Hei Emi! Tumben kau begini?” Tanya Nana karena ia sangat penasaran.
“Cepatlah! Mumpung aku lagi baik” Jawab Emi.
“Astaga kau ini… memangnya kau ga pernah baik hah!? Baiklah ayo!” Kata Nana sambil menepuk dahinya. Memang ia sepertinya memiliki teman yang tidak bisa ditebak sifatnya.
“Baiklah, ayo pergi” Ajak Emi dengan nada riang.
Akhirnya mereka bermain ke suatu tempat. Mereka bermain dengan riang dan makan bersama. Ketika hari sudah mau malam. Mereka pun pulang.
“Sampai jumpa Nana. Jangan pernah lupakan aku” Teriak Emi sambil mealmbaikan tangan.
“Baiklah, sampai jumpa. Tanpa kau bilang, aku tak akan pernah melupakanmu tahu!” Kata Nana dengna nada cemberut. Tentu saja Nana merasa aneh dengan sifat temannya itu.
“Siapa tahu saja kan, kau ini kan orang yang pikun” Goda Emi.
“Astaga ku kira kau anak yang baik, ternyata jiwa mu itu pembuli ya!” Kata Nana sambil mengepalkan tangannya seperti mau memukul anak itu.
“Hahaha!! Maaf maaf, baiklah aku pergi dulu” Jawab Emi sambil menghindari pukulan dari Nana dengan berlari.

“Dasar anak itu… Karena dia bersikap seperti ini, firasatku jadi bercampur… Entah apa yang akan terjadi besok…” Kata Nana dalam hati sambil menghela nafas panjang.
Keesokan harinya, seperti biasa, Nana pergi ke sekolah. Ia mengkhawatirkan Emi yang sedang mencari orang itu karena siapa tahu Emi bisa dalam bahaya.
Di sisi lain. Emi sudah mengetahui semua informasi tentang orang itu. Mulai dari penampilannya, sekolahnya, dan alamat rumahnya dan dia dekat dengan siapa saja. Kemarin, sehabis pulang dari bermain bersama Nana, Emi meletakkan alat pelacaknya di tempat duduk orang itu pada saat orang itu sedang pergi untuk membeli makanan. Tujuannya agar ketika duduk, pelacak itu bisa menempel padanya. Emi mengetahui bahwa orang itu sedang dalam kegiatan sehingga ia pulang malam dan kemungkinan untuk pelacaknya bisa menempel tinggi.
“Aku akan menemukan saudaraku!” Kata Emi dalam hati dengan hati siap.
Dia pun keluar dari rumah secara diam-diam lewat jendela agar tidak ada yang mengetahuinya. Sambil melihat dimana lokasi kakaknya lewat hp nya. DIa terus berlari dan berlari hingga ia sampai di suatu jalan kecil dan akhrinya ia menemukan kakaknya.
“Akhirnya!” Kata Emi senang dalam hatinya.
Emi pun menambah kecepatan larinya untuk menyusul kakaknya itu. Emi memutuskan untuk tidak memanggil kakaknya dulu nanti dan jaraknya dengan kakaknya masih jauh dan orang itu pasti tidak akan mendengarnya. Emi menyadari bahwa ada seseorang yang mengikuti dia.
Baca juga: Hari Ketika Kau Menghilang Selamanya – (Part 2)
“Gawat! Sepertinya aku sudah ketahuan mencari kakakku. Mau tidak mau aku harus memanggilnya.” Panik Emi dalam hatinya.
Emi pun berlari secepat mungkin untuk menyusul kakaknya, tetapi orang di belakang itu tetap mengejar dia. Setelah beberapa lama, Emi pun sampai di jalur kereta. Karena jaraknya sudah dekat jaraknya dengan kakaknya, ia pun berteriak.
“Kakakk!!! Kakakk!!!” Teriak Emi. Tetapi suaranya sepertinya tidak didengar karena orang itu mengira bukan ia yang dipanggil. Mendengar teriakan Emi, orang yang mengejarnya itu pun semakin menambah kecepatan larinya.
“Lalalala… lalalala…” Senandung Nana sambil berjalan. Sementara Emi ada di belakangnya dikejar oleh seseorang dan berbelok sementara Nana jalan lurus. Tiba-tiba mendengar suara yang dia kenal membuat dia terkejut tetapi ketika ia melihat ke belakang ia tidak melihat apa-apa.
“Kakakk!!! Kakakk!!!” Emi terus meneriakkan itu, dan ia mengetahui orang yang mengejarnya di belakang semakin cepat larinya dan kereta akan lewat sehingga jalan akan ditutup dan (orang itu) sudah melewati rel keretanya. Emi semakin panik karena mungkin ia tidak akan pernah bertemu kakaknya lagi. Ia pun terus meneriaki kata itu lebih keras lagi. Dan saat itu jalan sudah ditutup. Emi memiliki rencana ingin melompati palangnya tetapi sayangnya orang di belakang itu sudah menangkap Emi. Emi pun sangat panik.
“Le.. lepaskan aku!!” Teriak Emi terhadap orang itu, tetapi orang itu tidak menghiraukannya.
Emi pun yakin mungkin ia tak akan pernah lagi menemui kakaknya. Melihatnya saja dia sudah bersyukur dan akhirnya ia meneriakkan kata itu lagi sekali dengan suara yang paling keras.
“Kakakkk!!!” Teriak Emi untuk terakhir kalinya. Tetapi saat itu kereta sudah lewat, kemungkinan Natsumi tidak mendengar itu. Tetapi ternyata tidak, ia mendengar kata terakhir itu.
“Hmm…?” Rika menoleh ke belakang setelah kereta lewat. Tetapi tidak ada siapa-siapa. “Apa cuma halusinasiku saja?” tanya Rika dalam hatinya dan Natsumi pun melanjutkan perjalanannya.
Di sekolah, Nana merasakan firasat buruk bahwa Emi tidak baik-baik saja. Apalagi dia tadi seperti mendengar suara Emi menjerit di belakangnya. Ia pun menjadi khawatir dan mulai tidak fokus pada pelajarannya.
Emi, yang ada dirumah kemudian dikurung di kamarnya. Ternyata orang yang membawanya itu adalah ayahnya yang mengetahui bahwa Emi sedang mencari kakaknya.
“Sialan! Padahal hampir saja…” Kata Emi sambil sedikit mengeluarkan air mata.
Beberapa jam kemudian, ayahnya datang ke kamarnya dan langsung memarahinya dan melakukan kekerasan kepada Emi.
“Dasar anak keterlaluan! Kenapa kau mencari dia hah! Dialah yang membuat ayah terjerat kasus ini! Lebih baik kau mati saja!!” Teriak ayahnya dengan nada marah. Emi hanya bisa menangis sambil kesakitan karena perlakuan ayahnya itu.
Beberapa jam terus berlalu, Emi hanya bisa menangis keras, dia tidak bisa melawan ayahnya itu karena fisiknya yang lemah. Sampai pada akhirnya, ayahnya mencekik Emi sampai hampir mati. Ketika saat saat terakhirnya itu, ia menemukan sebuah pistol di lantai. Karena dalam keadaan terdesak, ia mengambil pistol itu dan mengarahkannya ke kepala ayahnya.