“Ka…kau me…memang ay..ayah si..alan! Ka…u su…sudah da..ri la..la..ma mem..buat ku ke..keta..kutan!” Kata Emi terbata-bata sambil menembakkan peluru dari pistol itu.
Karena tembakan itu, ayahnya pun tersungkur dan ia bisa selamat. Tetangga yang mendengar suara tembakan tersebut langsung menelpon polisi. Tetapi walaupun begitu, ia sudah terluka parah dan banyak mengeluarkan darah. Ia langsung mengambil kertas dan pulpen yang terjatuh dan menuliskan surat.
“Ma..afkaan aku Na..na ….”Katanya setelah menulis surat itu. Itulah kata terakhir yang bisa dia ucapkan. Dan nyawa Emi pun sudah tidak bisa terselamatkan.
Satu jam kemudian, polisi pun datang dan menginvestigasi tempat tersebut. Ayahnya ditetapkan sebagai tersangka. Nyawa ayahnya terselamatkan tetapi tidak dengan Emi. Mereka juga menemukan surat yang ditinggalkan Emi. Mereka dibawa ke rumah sakit. Berita tentang kasus kekerasan itu pun langsung tersebar di mana-mana.
Di sisi Nana, sesampainya di rumah, ibunya Nana menemui Nana.
“Ibu, Nana pulang!” Teriak Nana sambil membuka pintu rumah.
“Ah Nana kamu sudah pulang, cepat makan dan ganti bajumu. Ibu ingin menyampaikan sesuatu” kata ibu.
“Baik bu” Jawab Nana dengan singkat. Ia penasaran apa yang ingin disampaikan oleh ibunya.
Setelah makan dan ganti baju. Nana pun menyampiri ibunya. Ia penasaran apa yang akan disampaikan oleh ibunya.
“Apa yang ibu ingin sampaikan?” Kata Nana penasaran.
“Sebenarnya begini… Emi…” Kata ibunya dengan muka sedih
“Emi? Emi kenapa!? Apa terjadi sesuatu pada dia!?” Kata Nana panik
“Emi… sudah tiada…” Lanjut ibunya.
“A…apa… Tidak mungkin kan? Ibu cuma bercanda kan? Iya kan?” Kata Nana yang tidak percaya Airnya mulai berkaca-kaca sambil meyakinkan dirinya bahwa ibunya cuma bercanda.
“Tidak nak… Ibu tidak bercanda. Baru saja ada beritanya” Kata ibunya sambil menunjukkan artikel di hp nya yang berisi tentang informasi itu. Nana membacanya dengan serius. Air matanya mulai mengalir di pipinya.

“Tidak… tidak mungkin kan…? Hiks.. hiks..” Kata Nana sambil menangis karena tidak percaya sahabatnya itu akan meninggalkan dia duluan.
“Yang sabar nak…” Kata ibunya sambil menenangkan anaknya. “Oh ya, tadi ibu ditelpon oleh polisi bahwa kamu disuruh pergi ke rumah sakit” Lanjut ibunya.
“Baik ibu, aku akan pergi” Kata Nana sambil mengusap air matanya.
Nana dan ibunya pun pergi ke rumah sakit. Setelah sampai di sana, ia menemukan korban dari kasus sebelumnya, Natsumi ada di sana bersama teman-temannya. Dia menangis sambil melihat Emi.
“Hiks…hiks… Kenapa? Kenapa orang tuaku menyembunyikan dia dari aku? Kenapa!? Harusnya aku menyadarinya saat dia memanggilnya…” Kata Rika sambil menangis di depan tubuhnya Emi. Teman-temannya menenangkannya.
Nana yang melihatnya tubuhnya menjadi gemetar. Ia tidak berani untuk masuk ke ruangan itu dan melihat Emi. Dia memilih untuk melihat di luar. Lalu, seorang polisi datang menghampiri Nana.
“Permisi, apakah kamu yang bernama Nana?” Kata polisi itu.
“Iya, aku Nana. Ada perlu apa?” Jawab Nana.
“Sebelum korban meninggal, ia meninggalkan surat. Dan ini dituliskan untukmu dan ada juga beberapa kata-kata rasa bahagia yang menunjukkan anda. Silahkan dibaca” Kata polisi itu sambil menyerahkan suratnya itu.
Emi pun membacanya, surat itu ada bekas darah dan air mata. Tulisannya juga berantakan yang memberitahu bahwa ini ditulis di saat terakhirnya.
Baca juga: Hari Ketika Kau Menghilang Selamanya – (Part 3)
“Teman tersayangku, Emi. Sebenarnya aku sangat senang dapat bertemu dan berteman denganmu. Ketika aku menemuimu dan bermain bersamamu, aku bisa merasakan berbagai perasaan selain ketakutan. Iya, selama ini aku ketakutan karena sifat ayahku ini. Jika kau melihat korban kasus kemarin itu, dia adalah kakakku yang berbeda ayah, Natsumi. Aku bisa menjadi sangat pintar karena aku selalu terkurung di kamar untuk menghindari perilaku ayahku yang kadang-kadang datang dengan memakai alasan aku belajar. Ya, aku selalu belajar untuk mencari alasan sehingga aku bisa pintar seperti ini. Aku sangat minta maaf karena aku tidak bisa bertahan lagi dan lebih memilih untuk memberitahumu lewat surat ini. Aku akan tetap selalu di sampingmu. Jadi jangan lupakan aku ya. – Emi”
Membaca itu membuat air mata Nana mengalir deras dan ia pun mengingat perkataan kemarin itu.
“Dan aku ingin mencari orang itu… Jadi aku izin besok. Bilang saja ada acara. Dan ini… mungkin akan menjadi pertemuan terakhir kita… atau mungkin tidak.”
“Emi… Harusnya aku melarangmu untuk melakukan itu… Aku masih belum siap untuk kehilanganmu…” Kata Nana sambil menangis dan menyesali dirinya sendiri. Dia masih mengingat seyum kecil yang dilontarkan untuknya saat itu.
Keesokan harinya, Nana yang ceria pun berubah menjadi pemurung. Teman-temannya heran terhadapnya. Nana masih belum bisa menerima kepergian Emi. Dia selalu pergi sekali seminggu ke makam Emi untuk berdoa.
Beberapa hari kemudian, ketika Nana sudah menjadi murid SMP kelas 1, Nana pun seperti biasa datang ke makam Emi dan menaruh bunga di sana. Dan dia mengatakan sesuatu.
“Emi, aku sudah jadi siswi SMP lho” katanya sambil dengan bangganya menunjukkan seragam barunya itu.
“Terima kasih ya sudah menjadi teman baikku, maaf aku belum bisa memberi apa-apa. Jika suatu saat nanti kita kembali dilahirkan di dunia ini, aku pasti akan mencarimu kemanapun itu” bersamaan dengan kata-kata terakhirnya itu, Nana telah membulatkan tekadnya. Dia harus menerima semuanya dan kembali menjalani hidupnya seperti semua karena jika tidak, Emi yang di atas pasti akan bersedih melihatnya. Semua itu dia lakukan demi satu-satunya sahabat terbaiknya